Selasa, 18 Februari 2014

vernakularisme di sosrokusuman

Fenomena Oemah lama di tengah kota beserta dualisme antar warga di sosrokusuman

Sabtu 5 januari 2014 pada saat saya melakukan hunting untuk kuliah fotografi bersama lutfan nadif di kampung sosrokusuman,tiba-tiba kami menemukan sebuah objek yang sangat menarik yaitu beberapa unit rumah lama yang letak nya di belakang hotel ibis malioboro yang merupakan pusat kota yogyakarta,pada saat melakukan hunting datang 2 orang lelaki parubaya  yang mana salah satu diantaranya mengaku sebagai ketua rt menghampiri kami dan menanyakan kepentingan untuk memotret tempat tersebut dan juga meminta identitas kami  karena mereka merasa sensitif terhadap pemotretan yang disebabkan adanya wacana terhadap perluasan hotel ibis sampai kebelakang sehingga kemungkinan besar rumah mereka akan di gusur karena tidak adanya space yang membatasi antara rumah dan hotel tersebut. Setelah kami memberitahukan kepentingan untuk fotografi dan akan dipamerkan di kampus lantas mereka merasa bersemangat untuk menunjukkan dan menceritakan secara detail mengenai rumah-rumah lama dan space yang membatasi ke dua bangunant.setelah itu kami bersama dua narasumber langsung menuju ke lokasi dan melihat space yang dimaksud dan ternyata space tersebut hanya mempunya batas 5 meter dari belakang hotel ibis sesuai dengan mereka sepakati bersama,akan tetapi mereka juga bercerita  tentang wacana perluasan hotel ibis sampai kebelakang sehingga rumah mereka terancam di gusur.
Setelah bercerita banyak tentang wacana tersebut mereka mengharapkan kami selaku mahasiswa mau membantu untuk menyampaikan aspirasi mereka agar wacana tentang perluasan hotel ibis tidak dilaksanakan sehingga rumah lama itu sendiri tidak digusur dan mereka juga bersedia menjadi narusmber kami seandainya ada tindakan lebih lanjut mengenai  pameran tentang rumah lama di sosrokusuman.salah satu dari 2 narasumber tersebut juga menceritakan secara detail tentang rumah lama,ternyata beberapa unit rumah itu sudah direnovasi hanya ada 2 rumah yang masih “asli”.tetapi rumah yang masih “asli” itu sendiri sekarang sudah beralih fungsi menjadi tempat perkumpulan para juru parkir dan juga fasade depan rumah juga ditutupi oleh pohon sehingga sangat susah dilihat jika tidak teliti.
Berbeda dengan rumah yang “asli” tersebut,rumah lama yang sudah direnovasi itu sendiri masih mempunyai fungsi yang sama dengan sebelumnya yaitu sebagai rumah tinggal dan satu unit diantaranya ditempati oleh narasumber itu sendiri.
Hari pun  semakin gelap dan kami berpamitan serta mengucapkan terima kasih kepada dua narasumber atas keramahan dan cerita tentang sejarah rumah itu beserta wacana perluasan hotel ibis dan mereka menyampaikan pesan moral kepada kami “ tolong perhatikan lingkungan dan tetangga kalian jika ingin membangun bangunan baru terutama bangunan tinggi ” .
Setelah itu mereka memberikan  nomor ponsel nya untuk dihubungi apabila ada tindakan lebih lanjut mengenai fotografi tersebut dan mengharapkan kami untuk menjadi back up mereka apabila ada suatu pertemuan dengan pihak hotel itu sendiri. sebelum pulang saya juga menanyakan tentang peraturan yang mengharuskan pengendara motor untuk turun apabila melewati jalan kampung sosrokusuman dan mereka terlihat bingung menjawabnya dan meminta kami untuk menemui ketua juru parkir yang kebetulan berada di depan rumah lama tersebut, kedua narasumber yang salah satu nya mengaku sebagai ketua rt di sosrokusuman beralasan karena jalan itu bukan wilayah saya tetapi wilayah bapak ketua juru parkir  sendri sehingga apabila ada hal yang ingin ditanyakan silahkan jumpa beliau ucapnya ”.
Setelah berpamitan,kami langsung mendatangi bapak tersebut karena  beliau selaku orang yang mengetahui tentang peraturan-peraturan yang ada di kampung sosrokusuman,tatapi pada saat kami menghampirinya muka beliau kelihatan tidak senang dengan dengan kedatangan kami bahkan pada saat kami berbicara dengan ke dua narasumber tadi pandangan beliau terlihat sinis terhadap kami sehingga kami hanya menanyakan secara singkat mengenai peraturan yang ada di sosrokusuman.beliau langsung menjawab bahwa peraturan tersebut merupakan merupakan peraturan yang sudah disepakati bersam oleh para masyarakat sosrokusuman dan hanya berlaku untuk warga itu saja tetapi kita selaku pendatang harus menghormati nya.
Selanjutnya beliau juga mengatakan bahwa ke 2 narasumber yang pertama tadi merupakan warga pendatang sehingga fakta kebenaran cerita nya perlu dipertanyakan.setelah itu kami pun berpamitan dengan beliau untuk pulang,tetapi saat tiba dirumah lantas saya berdiskusi dengan teman tentang fenomena rumah lama beserta warga nya sehingga kami menyimpulkan bahwa ada “ dualisme antar warga di kampung sosrokusuman ”.
Kami menyimpulkan hal tersebut karena berdasarkan beberapa fakata. fakta pertama  yang kami temui adalah berbeda nya sikap antara warga tersebut yang mana narasumber pertama terlihat bersikap sangat ramah terhadap kami sedangkan narasumber kedua bersikap sebaliknya sedangkan fakta ke dua yang kami temui pada saat saya menanyakan tentang peraturan di kampung sosrokusuman  narasumber pertama tidak bisa menjawab dan bahkan meminta kami untuk ke narasumber ke dua padahal salah satu dari narasumber itu sendiri mengaku sebagai ketua rt tetapi anehnya kenapa tidak bisa menjawab pertanyaan yang tergolong mudah bagi seorang ketua rt.
Kami juga berdiskusi tentang kenapa bisa terjadi nya dualisme antar warga di kampung sosrokusuman.menurut pendapat teman saya yaitu lutfan nadif beliau juga seorang pakar sosial mengungkapkan asumsi yang bersifat analisis kenapa terjadinya  dualisme antar warga tersebut.
Asumsinya sebagai berikut : 2 narasumber pertama kanapa terlihat sangat ramah dan menceritakan secara detail mengenai rumah lama tersebut walaupun kebenaran tentang ceritanya perlu dipertanyakan mungkin karena di pengaruhi oleh faktor “uang”ganti rugi yang mereka anggap belum sepadan sehingga dengan adanya bantuan dari mahasiwa berada di pihak mereka sehingga mereka mengharapkan agar pihak hotel ibis akan melakukan dialog ulang dengar warga sehingga bisa meningkatkan uang ganti rugi sehingga sesuai dengan keinginan mereka walaupun rumah lama yang mereka tepati harus di gusur karena secara kependudukan mereka bukan warga asli di kampung sosrokusuman sehingga bukan menjadi masalah besar bagi mereka jika pindah ke tempat lain.sedangkan narasumber ke dua selaku kepala juru parkir  didaerah tersebut dan merupakan warga asli  terlihat tidak senang dengan kedatangan kami mungkin beliau merasa dengan adanya campur tangan mahasiswa yang membantu narasumber pertama  akan memperlambat tentang wacana perluasan hotel sehingga uang ganti rugi akan lama bisa didapatkan, karena mungkin beliau juga meras uang ganti rugi sudah sesuai karena rumahnya bukan berada di wilayah belakang hotel ibis sehingga apabila wacana perluasan hotel tidak banyak merugikan sehingga apabila dilakukan dailog ulang oleh pihak hotel ibis akan menyebabkan ketidak adilan tentang uang ganti rugi karena narasumber pertama lokasi rumahnya berada tepat dibelakang hotel sedangkan narasumber ke dua sebaliknya, Karena bisanya uang ganti rugi bersifat merata ke sumua warga.
Kami juga menemukan beberapa keganjalan tentang narasumber kedua.jika beliau merupakan warga asli sosrokusuman kenapa rela rumah lama asli sosrokusuman digusur padahal rumah tersebut juga merupakan tempat berkumpulnya juru-juru parkir di daerah malioboro dan bahkan beliau mendukung wacana tentang perluasan hotel tersebut.
Dari adanya fenomene tersebut saya mangambil beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut : Zaman sekarang ini segala sesuatu bisa ganti dengan uang bahkan mereka rela oemah asli sosrokusuman digusur padahal oemah tersebut hanya tinggal sedikit dan merupakan salah satu representasi vernakularime dalam bentuk visual  yang ada di sosrokusman.  Fenomena tersebut sangat berlawanan dengan identitas kota yogyakarta yang dikenal dengan nilai-nilai kesejarahan dan adatnya sehingga banyak menarik wisatawan lokal maupun interlokal,tetapi apabila fenomena diatas terus dilanjutkan sampai anak cucu mereka bagaimana nasib kota yogyakarta kedepannya ? akankah kota yogyakarta yang dulunya dikenal dengan adat dan sejarahnya dipenuhi oleh bangunan tinggi laksana kota metropolitan seperti jakarta, hanya waktu yang bisa menjawab nya.

20 januari 2014
Oleh : RISKI HIDAYATULLAH



Rabu, 25 September 2013

sejarang laksamana cheng ho

Laksamana Cheng Ho - Penjelajah Muslim dari Tiongko

  Sekitar tahun 1930-an, sejarah kehebatan seorang laksamana laut asal Tiongkok pada abad ke-15 mulai terkuak. Adalah batu prasasti di sebuah kota di Provinsi Fujian, Cina yang bersaksi dan mengisahkan jejak perjalanan dan petualangan seorang pelaut andal dan tangguh bernama Cheng Ho atau Zheng He.
Catatan perjalanan dan penjelajahan yang luar biasa hebatnya itu tak hanya memiliki arti penting bagi bangsa Cina. Jejak hidup Laksamana Cheng Ho juga begitu berarti bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. Seperti halnya, petualang hebat dari Maroko, Ibnu Battuta, Cheng Ho pernah singgah di Nusantara dalam ekspedisinya.
Matt Rosenberg, seorang ahli geografi terkemuka dunia mengungkapkan, ekspedisi laut yang dipimpin Cheng Ho telah dilakukan 87 tahun sebelum penjelajah kebanggaan Barat, Christopher Columbus, mengarungi luasnya samudera biru. Tak hanya itu, ekspedisi arung samudera yang dilakukan Cheng Ho juga jauh lebih awal dari penjelajah asal Portugis, Vasco da Gama dan petualang asal Spanyol, Ferdinand Magellan.
Petualangan antarbenua yang dipimpin Cheng Ho selama 28 tahun (1405 M -1433 M) itu berlangsung dalam tujuh kali pelayaran. Menurut Rosenberg, tak kurang dari 30 negara di benua Asia dan Afrika disinggahi Cheng Ho. Jarak tempuh ekspedisi yang dipimpin Cheng Ho beserta pengikutnya mencapai 35 ribu mil.
Dalam batu prasasti yang ditemukan di Provinsi Fujian itu, Cheng Ho mengatakan bahwa dirinya diperintahkan kaisar Dinasti Ming untuk berlayar mengarungi samudera menuju negara-negara di luar horizon. Dalam ekspedisinya mengelilingi benua Afrika dan Asia itu, Cheng Ho mengerahkan armada raksasa dengan puluhan kapal besar dan kapal kecil serta puluhan ribu awak.
Pada ekspedisi pertama, ia mengerahkan 62 kapal besar dan belasan kapal kecil yang digerakkan 27.800 ribu awak. Pada pelayaran ketiga, Cheng Ho menurunkan kapal besar sebanyak 48 buah dengan 27 ribu awak. Sedangkan pada pelayaran ketujuh, tak kurang dari 61 kapal besar dikerahkan dengan awaknya mencapai 27.550 orang. Padahal, ekspedisi yang dilakukan Columbus saat menemukan benua Amerika hanya mengerahkan tiga kapal dengan awak mencapai 88 orang.
Sebuah ekspedisi yang benar-benar dahsyat. Dalam setiap ekspedisi itu, secara khusus Cheng Ho menumpangi 'kapal pusaka'. Sebuah kapal terbesar pada abad ke-15 M. Betapa tidak, panjangnya saja mencapai 138 meter dan lebarnya sekitar 56 meter. Ukuran kapal yang digunakan Cheng Ho untuk menjelajah samudera itu lima kali lebih besar dibanding kapal Columbus.
Menurut sejarawan, JV Mills kapasitas `kapal pusaka' itu mencapai 2.500 ton. Pencapaian gemilang Cheng Ho melalui ekspedisi lautnya pada abad ke-15 M menunjukkan betapa peradaban Cina telah memiliki kapal-kapal besar serta kemampuan navigasi untuk menjelajahi dunia. Anehnya, keberhasilan yang dicapai Cheng Ho itu tak diikuti dengan ekspedisi berikutnya.
Ekspedisi pertama Cheng Ho dilakukan pada tahun 1405 M - 1407 M. Sebelum memulai ekspedisinya, rombongan besar itu menunaikan shalat terlebih dulu di sebuah masjid tua di kota Quanzhou (Provinsi Fujian). Pelayaran pertama ini mampu mencapai Caliut, barat daya India dan sampai di wilayah Asia Tenggara: Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Vietnam, Srilangka. Di setiap persinggahan armada itu melakukan transaksi dengan cara barter.
Tahun 1407 M - 1409 M ekspedisi kedua kembali dilakukan, namun Cheng Ho tak ikut memimpin ekspedisi ini, dia tetap di Cina merenovasi masjid di kampung halamannya. Ekspedisi ketiga digelar pada 1409 M - 1411 M menjangkau India dan Srilanka. Tahun 1413 M - 1415 M kembali melaksanakan ekspedisi, kali ini mencapai Aden, Teluk Persia, dan Mogadishu (Afrika Timur). Jalur ini diulang kembali pada ekspedisi kelima (1417M - 1419 M) dan keenam (1421 M - 1422 M). Ekspedisi terakhir (1431 M- 1433 M) berhasil mencapai Laut Merah.
Ekspedisi luar biasa itu tercatat dan terekam dalam buku Zheng He's Navigation Map yang mampu mengubah peta navigasi dunia sampai abad ke-15. Dalam buku ini terdapat 24 peta navigasi mengenai arah pelayaran, jarak di lautan, dan berbagai pelabuhan. Jalur perdagangan Cina berubah, tidak sekadar bertumpu pada 'Jalur Sutera' antara Beijing-Bukhara.
Tak ada penaklukan dalam ekspedisi itu. Sejarawan Jeanette Mirsky menyatakan, ekspedisi bertujuan untuk memperkenalkan dan mengangkat nama besar Dinasti Ming ke seluruh dunia. Kaisar Zhu Di berharap dengan ekspedisi itu, negara-negara lain mengakui kebesaran Kaisar Cina sebagai The Son of Heaven (Putra Dewata. Tindakan militer hanya diterapkan ketika armada yang dipimpinnya menghadapi para perompak di laut. Cheng Ho tutup usia di Caliut, India ketika hendak pulang dari ekspedisi ketujuh pada 1433 M. Namun, ada pula yang menyatakan dia meninggal setelah sampai di Cina pada 1435. Setiap tahun ekspedisinya selalu dikenang.
Selanjutnya, peristiwa politik bersejarah dan yang paling fenomenal ialah saat terjadinya ekspedisi Cheng Ho di masa pemerintahan Yung Lo dari Dinasti Ming. Yang melibatkan ribuan orang China. Sebagian besar awak kapal beragama Islam. Beberapa petinggi ekspedisi, selain tokoh legendaris Cheng Ho, yakni Ma Huan, Hasan, Wang Jing Hong (dikemudian hari terkenal dengan sebutan Kiai Dampoawang), Kung Wu Ping, Fei Hsin, dan lain-lain, juga seorang Muslim yang dikenal taat beragama.

Menurut Parlindungan dan Slamet Mulyana, ekspedisi sejak awal abad ke-15 itu tercatat tiga kali mengunjungi Jawa.  Setiap misi muhibahnya selalu meninggalkan jejak historis yang mengagumkan. Kegiatan penjelajahan samudera yang dipimpin langsung Laksamana Cheng Ho ini tidak sekadar bermuatan politik dan ekonomi belaka, tetapi juga menyimpan “agenda tersebunyi” (hidden agenda) berupa Islamisasi. Hal ini terbukti dengan penempatan para konsul dan duta keliling Muslim China di setiap daerah yang dikunjunginya. Kemungkinan besar sebagian China Islam yang turut serta dalam rombongan Cheng Ho ini enggan pulang kembali ke negerinya. Baik karena alasan pengembangan bisnis di daerah baru yang dinilai lebih menjanjikan atau faktor kenyamanan politik, maupun alasan dorongan keagamaan untuk menyebarkan syi’ar Islam di “negeri kafir”.
Jejak-jejak historis yang ditaburkan Cheng Ho ini begitu terasa mengurat dalam benak kehidupan masyarakat Jawa. Tidak hanya muncul lewat tradisi lisan melalui tokoh mitologi Kyai Dampo Awang. Tetapi juga beberapa peninggalan kesejarahan seperti bangunan mercusuar di Cirebon maupun berbagai kelenteng kuno yang dikaitkan dengan sang legendaris Laksamana Cheng Ho. Salah satunya adalah Kelenteng Sam Po Kong di Gedung Batu Semarang.
Kelenteng ini keberadaannya sangatlah monumental sekaligus fenomenal. Sangat menarik untuk dijadikan objek penelitian dari berbagai segi. Utamanya dari segi bangunan kelenteng tersebut. Pengaruh China yang cukup kuat dan menimbulkan dugaan bahwa pada bentangan abad ke-15/16 telah terjalin apa yang disebut Sino-Javanese Muslim Culture di mana fungsi awal bangunan tersebut adalah sebagai masjid (tempat sholat Cheng Ho beserta rombongan), hal ini dibuktikan dengan adanya Bedug dan tulisan pada dindingnya dalam bahasa China yang artinya “Bacalah Al-Qur’an”).
Kemudian beralih fungsi menjadi tempat peribadatan umat Khong Hu Chu (setidaknya, itulah fakta yang sekarang sekarang) merupakan fenomena yang harus kita terima. Bahkan yang sekarang terjadi: banyak sekali umat dari bermacam-macam agama “beribadah” di sana. Bisa jadi, disamping fungsi awalnya sebagai Masjid, tidak menutup kemungkinan untuk peribadatan awak kapal Cheng Ho lainnya yang non-Muslim. Karena, pada rombongan ekspedisi tersebut ada yang beragama Tao, Khong Hu Chu, dan Buddha (tiga kepercayaan tertua di China).
Namun demikian, ada kemungkinan ketiga yang muncul. Yaitu hanya  sebagai “tempat singgah” rombongan ekspedisi Laksamana Cheng Ho yang tercatat tujuh kali melakukan pelayaran ke Kepulauan Nusantara. Di Semarang sendiri rombongan Cheng Ho tercatat mengunjungi sebanyak tiga kali. sehingga penulis Buku “Laksamana Cheng Ho dan Kelenteng Sam Po Kong” menduga, Kelenteng Sam Po Kong atau Sam Po Tay Djien itu “hanya sekadar” ekspresi kebudayaan China Jawa Islam yang terletak di Gedung Batu Simongan Semarang. Terlepas dari perdebatan kemungkinan-kemungkinan di atas, ada fakta menarik yang dapat kita jadikan pelajaran. Yaitu, bahwa antara China-Jawa (yang “lazim” disebut pribumi-non pribumi) pernah hidup rukun dan bergandengan, jauh dari perasaan saling curiga.
Kaitan antara Cheng Ho dan Semarang terutama bersumber dari karangan wartawan Tionghoa di zaman Belanda, Lin Tian-you (Lim Thian-joe) dalam karya tulisnya, Riwajat Semarang (San Bao Long Li Shi). Sedangkan dalam catatan sejarah Tiongkok, tidak ada tercatat Semarang karena memang belum ada Semarang waktu itu. Catatan sejarah Tiongkok cuma mengisahkan Cheng Ho pernah singgah dan melihat banyak komunitas Tionghoa di Tuban dan Surabaya (Buku "Di San Zhong Hua" karangan Niu Zhen, buku "Nan Yang Hua Ren Jian Shi" karangan Shui Niu). Sedangkan, Palembang dan Banda Aceh telah tercatat sebagai bandar besar pada masa tersebut dengan nama "Jiu Gang" untuk Palembang dan "Nan Wu Li" untuk Banda Aceh. Sebelum sampai ke Palembang, armada Cheng Ho lebih dulu singgah di Zhan Cheng (sekarang di sekitar Ho Chi Minh City) lalu ke Jawa. Ini adalah rute ekspedisi pertamanya yang mencapai ke Guli (India).

Penjelajahan


Cheng Ho melakukan ekspedisi ke berbagai daerah di Asia dan Afrika, antara lain:
·         Vietnam
·         Amerika
·         Taiwan
·         Malaka / bagian dari Malaysia
·         Palembang, Sumatra/ bagian dari Indonesia
·         Jawa / bagian dari Indonesia
·         Sri Lanka
·         India bagian Selatan
·         Persia
·         Teluk Persia
·         Arab
·         Laut Merah, ke utara hingga Mesir
·         Afrika, ke selatan hingga Selat Mozambik
Karena beragama Islam, para temannya mengetahui bahwa Cheng Ho sangat ingin melakukan Haji ke Mekkah seperti yang telah dilakukan oleh almarhum ayahnya, tetapi para arkeolog dan paraahli sejarah belum mempunyai bukti kuat mengenai hal ini. Cheng Ho melakukan ekspedisi paling sedikit tujuh kali dengan menggunakan kapal armadanya.
Pelayaran

Peta Kangnido (1402) sebelum Pelayaran Cheng Ho dan diperkirakan ia memiliki informasi geografi detail pada sebagian besar Dunia Lama.

Pelayaran
Waktu
Daerah yang dilewati
Pelayaran ke-1
1405-1407
Pelayaran ke-2
1407-1408
Champa, Jawa, Siam, Sumatra, Lambri, Calicut, Cochin, Ceylon
Pelayaran ke-3
1409-1411
Champa, Java, Malacca, Sumatra, Ceylon, Quilon, Cochin, Calicut, Siam, Lambri, Kaya, Coimbatore, Puttanpur
Pelayaran ke-4
1413-1415
Champa, Java, Palembang, Malacca, Sumatra, Ceylon, Cochin, Calicut, Kayal, Pahang, Kelantan, Aru, Lambri, Hormuz, Maladewa,Mogadishu, Brawa, Malindi, Aden, Muscat, Dhufar
Pelayaran ke-5
1416-1419
Champa, Pahang, Java, Malacca, Sumatra, Lambri, Ceylon,Sharwayn, Cochin, Calicut, Hormuz, Maldives, Mogadishu, Brawa, Malindi, Aden
Pelayaran ke-6
1421-1422
Hormuz, Afrika Timur, negara-negara di Jazirah Arab
Pelayaran ke-7
1430-1433
Champa, Java, Palembang, Malacca, Sumatra, Ceylon, Calicut, Hormuz... (17 politics in total)
Cheng Ho memimpin tujuh ekspedisi ke tempat yang disebut oleh orang China Samudera Barat (Samudera Indonesia). Ia membawa banyak hadiah dan lebih dari 30 utusan kerajaan ke China - termasuk Raja Alagonakkara dari Sri Lanka, yang datang ke China untuk meminta maaf kepada Kaisar.
Catatan perjalanan Cheng Ho pada dua pelayaran terakhir, yang diyakini sebagai pelayaran terjauh, sayangnya dihancurkan oleh Kaisar Dinasti ching




SUMBER :