elriski94_arch
Selasa, 04 Maret 2014
Selasa, 18 Februari 2014
vernakularisme di sosrokusuman
Fenomena Oemah
lama di tengah kota beserta dualisme antar warga di sosrokusuman
Sabtu 5 januari 2014 pada saat saya melakukan hunting
untuk kuliah fotografi bersama lutfan nadif di kampung sosrokusuman,tiba-tiba
kami menemukan sebuah objek yang sangat menarik yaitu beberapa unit rumah lama
yang letak nya di belakang hotel ibis malioboro yang merupakan pusat kota
yogyakarta,pada saat melakukan hunting datang 2 orang lelaki parubaya yang mana salah satu diantaranya mengaku
sebagai ketua rt menghampiri kami dan menanyakan kepentingan untuk memotret
tempat tersebut dan juga meminta identitas kami karena mereka merasa sensitif terhadap
pemotretan yang disebabkan adanya wacana terhadap perluasan hotel ibis sampai
kebelakang sehingga kemungkinan besar rumah mereka akan di gusur karena tidak
adanya space yang membatasi antara rumah dan hotel tersebut. Setelah kami
memberitahukan kepentingan untuk fotografi dan akan dipamerkan di kampus lantas
mereka merasa bersemangat untuk menunjukkan dan menceritakan secara detail
mengenai rumah-rumah lama dan space yang membatasi ke dua bangunant.setelah itu
kami bersama dua narasumber langsung menuju ke lokasi dan melihat space yang
dimaksud dan ternyata space tersebut hanya mempunya batas 5 meter dari belakang
hotel ibis sesuai dengan mereka sepakati bersama,akan tetapi mereka juga
bercerita tentang wacana perluasan hotel
ibis sampai kebelakang sehingga rumah mereka terancam di gusur.
Setelah bercerita banyak tentang wacana tersebut
mereka mengharapkan kami selaku mahasiswa mau membantu untuk menyampaikan
aspirasi mereka agar wacana tentang perluasan hotel ibis tidak dilaksanakan
sehingga rumah lama itu sendiri tidak digusur dan mereka juga bersedia menjadi
narusmber kami seandainya ada tindakan lebih lanjut mengenai pameran tentang rumah lama di
sosrokusuman.salah satu dari 2 narasumber tersebut juga menceritakan secara
detail tentang rumah lama,ternyata beberapa unit rumah itu sudah direnovasi
hanya ada 2 rumah yang masih “asli”.tetapi rumah yang masih “asli” itu sendiri
sekarang sudah beralih fungsi menjadi tempat perkumpulan para juru parkir dan
juga fasade depan rumah juga ditutupi oleh pohon sehingga sangat susah dilihat
jika tidak teliti.
Berbeda dengan rumah yang “asli” tersebut,rumah lama
yang sudah direnovasi itu sendiri masih mempunyai fungsi yang sama dengan
sebelumnya yaitu sebagai rumah tinggal dan satu unit diantaranya ditempati oleh
narasumber itu sendiri.
Hari pun
semakin gelap dan kami berpamitan serta mengucapkan terima kasih kepada
dua narasumber atas keramahan dan cerita tentang sejarah rumah itu beserta
wacana perluasan hotel ibis dan mereka menyampaikan pesan moral kepada kami “ tolong perhatikan lingkungan dan tetangga
kalian jika ingin membangun bangunan baru terutama bangunan tinggi ” .
Setelah itu mereka memberikan nomor ponsel nya untuk dihubungi apabila ada
tindakan lebih lanjut mengenai fotografi tersebut dan mengharapkan kami untuk
menjadi back up mereka apabila ada suatu pertemuan dengan pihak hotel itu
sendiri. sebelum pulang saya juga menanyakan tentang peraturan yang
mengharuskan pengendara motor untuk turun apabila melewati jalan kampung
sosrokusuman dan mereka terlihat bingung menjawabnya dan meminta kami untuk
menemui ketua juru parkir yang kebetulan berada di depan rumah lama tersebut,
kedua narasumber yang salah satu nya mengaku sebagai ketua rt di sosrokusuman
beralasan karena jalan itu bukan wilayah saya tetapi wilayah bapak ketua juru
parkir sendri sehingga apabila ada hal
yang ingin ditanyakan silahkan jumpa beliau ucapnya ”.
Setelah berpamitan,kami langsung mendatangi bapak
tersebut karena beliau selaku orang yang
mengetahui tentang peraturan-peraturan yang ada di kampung sosrokusuman,tatapi
pada saat kami menghampirinya muka beliau kelihatan tidak senang dengan dengan
kedatangan kami bahkan pada saat kami berbicara dengan ke dua narasumber tadi
pandangan beliau terlihat sinis terhadap kami sehingga kami hanya menanyakan
secara singkat mengenai peraturan yang ada di sosrokusuman.beliau langsung
menjawab bahwa peraturan tersebut merupakan merupakan peraturan yang sudah
disepakati bersam oleh para masyarakat sosrokusuman dan hanya berlaku untuk
warga itu saja tetapi kita selaku pendatang harus menghormati nya.
Selanjutnya beliau juga mengatakan bahwa ke 2
narasumber yang pertama tadi merupakan warga pendatang sehingga fakta kebenaran
cerita nya perlu dipertanyakan.setelah itu kami pun berpamitan dengan beliau
untuk pulang,tetapi saat tiba dirumah lantas saya berdiskusi dengan teman
tentang fenomena rumah lama beserta warga nya sehingga kami menyimpulkan bahwa
ada “ dualisme antar warga di kampung
sosrokusuman ”.
Kami menyimpulkan hal tersebut karena berdasarkan
beberapa fakata. fakta pertama yang kami
temui adalah berbeda nya sikap antara warga tersebut yang mana narasumber
pertama terlihat bersikap sangat ramah terhadap kami sedangkan narasumber kedua
bersikap sebaliknya sedangkan fakta ke dua yang kami temui pada saat saya
menanyakan tentang peraturan di kampung sosrokusuman narasumber pertama tidak bisa menjawab dan
bahkan meminta kami untuk ke narasumber ke dua padahal salah satu dari
narasumber itu sendiri mengaku sebagai ketua rt tetapi anehnya kenapa tidak
bisa menjawab pertanyaan yang tergolong mudah bagi seorang ketua rt.
Kami juga berdiskusi tentang kenapa bisa terjadi nya
dualisme antar warga di kampung sosrokusuman.menurut pendapat teman saya yaitu
lutfan nadif beliau juga seorang pakar sosial mengungkapkan asumsi yang bersifat
analisis kenapa terjadinya dualisme
antar warga tersebut.
Asumsinya sebagai berikut : 2 narasumber pertama
kanapa terlihat sangat ramah dan menceritakan secara detail mengenai rumah lama
tersebut walaupun kebenaran tentang ceritanya perlu dipertanyakan mungkin
karena di pengaruhi oleh faktor “uang”ganti rugi yang mereka anggap belum
sepadan sehingga dengan adanya bantuan dari mahasiwa berada di pihak mereka
sehingga mereka mengharapkan agar pihak hotel ibis akan melakukan dialog ulang
dengar warga sehingga bisa meningkatkan uang ganti rugi sehingga sesuai dengan
keinginan mereka walaupun rumah lama yang mereka tepati harus di gusur karena
secara kependudukan mereka bukan warga asli di kampung sosrokusuman sehingga
bukan menjadi masalah besar bagi mereka jika pindah ke tempat lain.sedangkan
narasumber ke dua selaku kepala juru parkir didaerah tersebut dan merupakan warga asli terlihat tidak senang dengan kedatangan kami
mungkin beliau merasa dengan adanya campur tangan mahasiswa yang membantu
narasumber pertama akan memperlambat
tentang wacana perluasan hotel sehingga uang ganti rugi akan lama bisa
didapatkan, karena mungkin beliau juga meras uang ganti rugi sudah sesuai
karena rumahnya bukan berada di wilayah belakang hotel ibis sehingga apabila
wacana perluasan hotel tidak banyak merugikan sehingga apabila dilakukan dailog
ulang oleh pihak hotel ibis akan menyebabkan ketidak adilan tentang uang ganti
rugi karena narasumber pertama lokasi rumahnya berada tepat dibelakang hotel
sedangkan narasumber ke dua sebaliknya, Karena bisanya uang ganti rugi bersifat
merata ke sumua warga.
Kami juga menemukan beberapa keganjalan tentang
narasumber kedua.jika beliau merupakan warga asli sosrokusuman kenapa rela
rumah lama asli sosrokusuman digusur padahal rumah tersebut juga merupakan
tempat berkumpulnya juru-juru parkir di daerah malioboro dan bahkan beliau
mendukung wacana tentang perluasan hotel tersebut.
Dari adanya fenomene tersebut saya mangambil beberapa
kesimpulan yaitu sebagai berikut : Zaman sekarang ini segala sesuatu bisa ganti
dengan uang bahkan mereka rela oemah asli sosrokusuman digusur padahal oemah
tersebut hanya tinggal sedikit dan merupakan salah satu representasi
vernakularime dalam bentuk visual yang
ada di sosrokusman. Fenomena tersebut
sangat berlawanan dengan identitas kota yogyakarta yang dikenal dengan
nilai-nilai kesejarahan dan adatnya sehingga banyak menarik wisatawan lokal
maupun interlokal,tetapi apabila fenomena diatas terus dilanjutkan sampai anak
cucu mereka bagaimana nasib kota yogyakarta kedepannya ? akankah kota
yogyakarta yang dulunya dikenal dengan adat dan sejarahnya dipenuhi oleh
bangunan tinggi laksana kota metropolitan
seperti jakarta, hanya waktu yang bisa menjawab nya.
20 januari
2014
Oleh : RISKI
HIDAYATULLAH
Rabu, 25 September 2013
sejarang laksamana cheng ho
Laksamana Cheng Ho - Penjelajah Muslim dari Tiongko
Sekitar tahun 1930-an, sejarah kehebatan
seorang laksamana laut asal Tiongkok pada abad ke-15 mulai terkuak. Adalah batu
prasasti di sebuah kota di Provinsi Fujian, Cina yang bersaksi dan mengisahkan
jejak perjalanan dan petualangan seorang pelaut andal dan tangguh bernama Cheng
Ho atau Zheng He.
Catatan perjalanan dan
penjelajahan yang luar biasa hebatnya itu tak hanya memiliki arti penting bagi
bangsa Cina. Jejak hidup Laksamana Cheng Ho juga begitu berarti bagi umat Islam
dan bangsa Indonesia. Seperti halnya, petualang hebat dari Maroko, Ibnu
Battuta, Cheng Ho pernah singgah di Nusantara dalam ekspedisinya.
Matt Rosenberg, seorang
ahli geografi terkemuka dunia mengungkapkan, ekspedisi laut yang dipimpin Cheng
Ho telah dilakukan 87 tahun sebelum penjelajah kebanggaan Barat, Christopher
Columbus, mengarungi luasnya samudera biru. Tak hanya itu, ekspedisi arung
samudera yang dilakukan Cheng Ho juga jauh lebih awal dari penjelajah asal
Portugis, Vasco da Gama dan petualang asal Spanyol, Ferdinand Magellan.
Petualangan antarbenua yang
dipimpin Cheng Ho selama 28 tahun (1405 M -1433 M) itu berlangsung dalam tujuh
kali pelayaran. Menurut Rosenberg, tak kurang dari 30 negara di benua Asia dan
Afrika disinggahi Cheng Ho. Jarak tempuh ekspedisi yang dipimpin Cheng Ho
beserta pengikutnya mencapai 35 ribu mil.
Dalam batu prasasti yang
ditemukan di Provinsi Fujian itu, Cheng Ho mengatakan bahwa dirinya
diperintahkan kaisar Dinasti Ming untuk berlayar mengarungi samudera menuju
negara-negara di luar horizon. Dalam ekspedisinya mengelilingi benua Afrika dan
Asia itu, Cheng Ho mengerahkan armada raksasa dengan puluhan kapal besar dan
kapal kecil serta puluhan ribu awak.
Pada ekspedisi pertama, ia
mengerahkan 62 kapal besar dan belasan kapal kecil yang digerakkan 27.800 ribu
awak. Pada pelayaran ketiga, Cheng Ho menurunkan kapal besar sebanyak 48 buah
dengan 27 ribu awak. Sedangkan pada pelayaran ketujuh, tak kurang dari 61 kapal
besar dikerahkan dengan awaknya mencapai 27.550 orang. Padahal, ekspedisi yang
dilakukan Columbus saat menemukan benua Amerika hanya mengerahkan tiga kapal
dengan awak mencapai 88 orang.
Sebuah ekspedisi yang
benar-benar dahsyat. Dalam setiap ekspedisi itu, secara khusus Cheng Ho
menumpangi 'kapal pusaka'. Sebuah kapal terbesar pada abad ke-15 M. Betapa
tidak, panjangnya saja mencapai 138 meter dan lebarnya sekitar 56 meter. Ukuran
kapal yang digunakan Cheng Ho untuk menjelajah samudera itu lima kali lebih
besar dibanding kapal Columbus.
Menurut sejarawan, JV Mills
kapasitas `kapal pusaka' itu mencapai 2.500 ton. Pencapaian gemilang Cheng Ho
melalui ekspedisi lautnya pada abad ke-15 M menunjukkan betapa peradaban Cina
telah memiliki kapal-kapal besar serta kemampuan navigasi untuk menjelajahi
dunia. Anehnya, keberhasilan yang dicapai Cheng Ho itu tak diikuti dengan
ekspedisi berikutnya.
Ekspedisi pertama Cheng Ho
dilakukan pada tahun 1405 M - 1407 M. Sebelum memulai ekspedisinya, rombongan
besar itu menunaikan shalat terlebih dulu di sebuah masjid tua di kota Quanzhou
(Provinsi Fujian). Pelayaran pertama ini mampu mencapai Caliut, barat daya
India dan sampai di wilayah Asia Tenggara: Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa,
Vietnam, Srilangka. Di setiap persinggahan armada itu melakukan transaksi
dengan cara barter.
Tahun 1407 M - 1409 M
ekspedisi kedua kembali dilakukan, namun Cheng Ho tak ikut memimpin ekspedisi
ini, dia tetap di Cina merenovasi masjid di kampung halamannya. Ekspedisi
ketiga digelar pada 1409 M - 1411 M menjangkau India dan Srilanka. Tahun 1413 M
- 1415 M kembali melaksanakan ekspedisi, kali ini mencapai Aden, Teluk Persia,
dan Mogadishu (Afrika Timur). Jalur ini diulang kembali pada ekspedisi kelima
(1417M - 1419 M) dan keenam (1421 M - 1422 M). Ekspedisi terakhir (1431 M- 1433
M) berhasil mencapai Laut Merah.
Ekspedisi luar biasa itu
tercatat dan terekam dalam buku Zheng He's Navigation Map yang mampu mengubah
peta navigasi dunia sampai abad ke-15. Dalam buku ini terdapat 24 peta navigasi
mengenai arah pelayaran, jarak di lautan, dan berbagai pelabuhan. Jalur
perdagangan Cina berubah, tidak sekadar bertumpu pada 'Jalur Sutera' antara Beijing-Bukhara.
Tak ada penaklukan dalam
ekspedisi itu. Sejarawan Jeanette Mirsky menyatakan, ekspedisi bertujuan untuk
memperkenalkan dan mengangkat nama besar Dinasti Ming ke seluruh dunia. Kaisar
Zhu Di berharap dengan ekspedisi itu, negara-negara lain mengakui kebesaran
Kaisar Cina sebagai The Son of Heaven (Putra Dewata. Tindakan
militer hanya diterapkan ketika armada yang dipimpinnya menghadapi para
perompak di laut. Cheng Ho tutup usia di Caliut, India ketika hendak pulang
dari ekspedisi ketujuh pada 1433 M. Namun, ada pula yang menyatakan dia
meninggal setelah sampai di Cina pada 1435. Setiap tahun ekspedisinya selalu
dikenang.
Selanjutnya, peristiwa politik bersejarah dan yang paling
fenomenal ialah saat terjadinya ekspedisi Cheng Ho di masa pemerintahan Yung Lo
dari Dinasti Ming. Yang melibatkan ribuan orang China. Sebagian besar awak
kapal beragama Islam. Beberapa petinggi ekspedisi, selain tokoh legendaris
Cheng Ho, yakni Ma Huan, Hasan, Wang Jing Hong (dikemudian hari terkenal dengan
sebutan Kiai Dampoawang), Kung Wu Ping, Fei Hsin, dan lain-lain, juga seorang
Muslim yang dikenal taat beragama.
Menurut Parlindungan dan Slamet Mulyana, ekspedisi sejak
awal abad ke-15 itu tercatat tiga kali mengunjungi Jawa. Setiap misi
muhibahnya selalu meninggalkan jejak historis yang mengagumkan. Kegiatan
penjelajahan samudera yang dipimpin langsung Laksamana Cheng Ho ini tidak
sekadar bermuatan politik dan ekonomi belaka, tetapi juga menyimpan “agenda
tersebunyi” (hidden agenda) berupa Islamisasi. Hal ini terbukti dengan
penempatan para konsul dan duta keliling Muslim China di setiap daerah yang
dikunjunginya. Kemungkinan besar sebagian China Islam yang turut serta dalam
rombongan Cheng Ho ini enggan pulang kembali ke negerinya. Baik karena alasan
pengembangan bisnis di daerah baru yang dinilai lebih menjanjikan atau faktor
kenyamanan politik, maupun alasan dorongan keagamaan untuk menyebarkan syi’ar
Islam di “negeri kafir”.
Jejak-jejak historis yang ditaburkan Cheng Ho ini begitu
terasa mengurat dalam benak kehidupan masyarakat Jawa. Tidak hanya muncul lewat
tradisi lisan melalui tokoh mitologi Kyai Dampo Awang. Tetapi juga beberapa
peninggalan kesejarahan seperti bangunan mercusuar di Cirebon maupun berbagai
kelenteng kuno yang dikaitkan dengan sang legendaris Laksamana Cheng Ho. Salah
satunya adalah Kelenteng Sam Po Kong di Gedung Batu Semarang.
Kelenteng ini keberadaannya sangatlah monumental sekaligus
fenomenal. Sangat menarik untuk dijadikan objek penelitian dari berbagai segi.
Utamanya dari segi bangunan kelenteng tersebut. Pengaruh China yang cukup kuat
dan menimbulkan dugaan bahwa pada bentangan abad ke-15/16 telah terjalin apa
yang disebut Sino-Javanese Muslim Culture di mana fungsi awal bangunan tersebut
adalah sebagai masjid (tempat sholat Cheng Ho beserta rombongan), hal ini
dibuktikan dengan adanya Bedug dan tulisan pada dindingnya dalam bahasa China yang
artinya “Bacalah Al-Qur’an”).
Kemudian beralih fungsi menjadi tempat peribadatan umat
Khong Hu Chu (setidaknya, itulah fakta yang sekarang sekarang) merupakan
fenomena yang harus kita terima. Bahkan yang sekarang terjadi: banyak sekali
umat dari bermacam-macam agama “beribadah” di sana. Bisa jadi, disamping fungsi
awalnya sebagai Masjid, tidak menutup kemungkinan untuk peribadatan awak kapal
Cheng Ho lainnya yang non-Muslim. Karena, pada rombongan ekspedisi tersebut ada
yang beragama Tao, Khong Hu Chu, dan Buddha (tiga kepercayaan tertua di China).
Namun demikian, ada kemungkinan ketiga yang muncul. Yaitu
hanya sebagai “tempat singgah” rombongan ekspedisi Laksamana Cheng Ho
yang tercatat tujuh kali melakukan pelayaran ke Kepulauan Nusantara. Di Semarang
sendiri rombongan Cheng Ho tercatat mengunjungi sebanyak tiga kali. sehingga
penulis Buku “Laksamana Cheng Ho dan Kelenteng Sam Po Kong” menduga, Kelenteng
Sam Po Kong atau Sam Po Tay Djien itu “hanya sekadar” ekspresi kebudayaan China
Jawa Islam yang terletak di Gedung Batu Simongan Semarang. Terlepas dari
perdebatan kemungkinan-kemungkinan di atas, ada fakta menarik yang dapat kita
jadikan pelajaran. Yaitu, bahwa antara China-Jawa (yang “lazim” disebut
pribumi-non pribumi) pernah hidup rukun dan bergandengan, jauh dari perasaan
saling curiga.
Kaitan antara Cheng Ho dan Semarang terutama bersumber dari
karangan wartawan Tionghoa di zaman Belanda, Lin Tian-you (Lim Thian-joe) dalam
karya tulisnya, Riwajat Semarang (San Bao Long Li Shi). Sedangkan dalam catatan
sejarah Tiongkok, tidak ada tercatat Semarang karena memang belum ada Semarang
waktu itu. Catatan sejarah Tiongkok cuma mengisahkan Cheng Ho pernah singgah
dan melihat banyak komunitas Tionghoa di Tuban dan Surabaya (Buku "Di San
Zhong Hua" karangan Niu Zhen, buku "Nan Yang Hua Ren Jian Shi"
karangan Shui Niu). Sedangkan, Palembang dan Banda Aceh telah tercatat sebagai
bandar besar pada masa tersebut dengan nama "Jiu Gang" untuk
Palembang dan "Nan Wu Li" untuk Banda Aceh. Sebelum sampai ke
Palembang, armada Cheng Ho lebih dulu singgah di Zhan Cheng (sekarang di
sekitar Ho Chi Minh City) lalu ke Jawa. Ini adalah rute ekspedisi pertamanya
yang mencapai ke Guli (India).
Penjelajahan
Karena beragama Islam, para temannya mengetahui bahwa Cheng Ho sangat ingin
melakukan Haji ke Mekkah seperti yang telah dilakukan oleh almarhum ayahnya, tetapi para arkeolog dan paraahli sejarah belum mempunyai bukti kuat mengenai
hal ini. Cheng Ho melakukan ekspedisi paling sedikit tujuh kali dengan
menggunakan kapal armadanya.
Pelayaran
Peta Kangnido (1402) sebelum Pelayaran Cheng Ho dan diperkirakan ia
memiliki informasi geografi detail pada sebagian besar Dunia Lama.
Pelayaran
|
Waktu
|
Daerah yang dilewati
|
Pelayaran ke-1
|
1405-1407
|
|
Pelayaran ke-2
|
1407-1408
|
|
Pelayaran ke-3
|
1409-1411
|
Champa, Java, Malacca, Sumatra, Ceylon, Quilon, Cochin, Calicut, Siam, Lambri, Kaya, Coimbatore, Puttanpur
|
Pelayaran ke-4
|
1413-1415
|
|
Pelayaran ke-5
|
1416-1419
|
Champa, Pahang, Java, Malacca, Sumatra, Lambri,
Ceylon,Sharwayn, Cochin, Calicut, Hormuz, Maldives, Mogadishu,
Brawa, Malindi, Aden
|
Pelayaran ke-6
|
1421-1422
|
|
Pelayaran ke-7
|
1430-1433
|
Champa, Java, Palembang, Malacca, Sumatra, Ceylon,
Calicut, Hormuz... (17 politics in total)
|
Cheng Ho memimpin tujuh ekspedisi ke tempat yang
disebut oleh orang China Samudera Barat (Samudera Indonesia). Ia membawa banyak hadiah dan lebih dari 30 utusan kerajaan ke China -
termasuk Raja Alagonakkara dari Sri Lanka, yang datang ke China untuk meminta
maaf kepada Kaisar.
Catatan perjalanan Cheng Ho pada dua pelayaran
terakhir, yang diyakini sebagai pelayaran terjauh, sayangnya dihancurkan oleh
Kaisar Dinasti ching
SUMBER :
Langganan:
Postingan (Atom)